Notícias

Indonésia: protesto contra 36 bancos envolvidos em crimes ambientais

Tuk

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA 

Kontak: Linda Rosalina (linda@tuk.or.id/+62 812 1942 7257)

Aksi Protes Terhadap 36 Bank yang Terlibat Kejahatan Lingkungan

Masyarakat sipil menuntut peran OJK dan Kementerian Keuangan untuk mendorong Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh Negara G20 yang Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggar HAM

Jakarta, 10 November 2022 – TuK INDONESIA bersama dengan Eksekutif Nasional WALHI, Dan WALHI Jakarta melakukan aksi protes di depan Kementerian Keuangan, OJK dan tiga bank besar Indonesia, BNI, BRI dan Mandiri hari ini. Aksi ini menindaklanjuti laporan koalisi Forests & Finance yang menemukan 90% bank-bank dari negara G20  telah mendanai kerusakan hutan dan pelanggaran HAM di Indonesia. Bank-bank dari Indonesia, Brazil, Uni Eropa, Cina, dan Amerika menjadi kreditur teratas dari negara G20 yang menyalurkan dana kepada perusahaan penghasil komoditas yang berisiko terhadap hutan di Amerika Latin, Asia Tenggara, serta Afrika Barat dan Tengah.

“Menjelang pertemuan G20 Kementerian Keuangan seharusnya bisa memperkuat negosiasi global untuk mendorong implementasi Keuangan Berkelanjutan kepada negara-negara anggota G20 lainnya. Tidak hanya itu, Indonesia juga seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh bank-bank BUMN. Namun kenyataanya Bank Mandiri, BRI, BNI masih menjadi Bank BUMN teratas yang terlibat dalam kejahatan lingkungan memimpin 33 bank lainnya di Indonesia dengan tetap membiayai perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak perusakan hutan dan perampasan lahan masyarakat lokal, seperti sawit dan pulp & paper”, Ungkap Edi Sutrisno selaku Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

“Skema pembiayaan hijau yang diusung sejumlah bank di Indonesia kontra produktif dengan kondisi faktual di lapangan dimana bank tersebut justru menjadi aktor penyebab krisis ekologis.  Dengan embel-embel hijau, seharusnya bank dapat secara tegas melakukan screening dalam skema pembiayaan proyek dan tidak mendukung proyek solusi palsu iklim yg justru jauh dari prinsip-prinsip keadilan ekologis”, Suci Fitria Tanjung selaku Direktur WALHI Jakarta menambahkan.

Bank Mandiri misalnya masih mendanai perusahaan sawit Astra Agro Lestari Tbk. (AALI). Padahal salah satu anak perusahaan AALI, PT. Lestari Tani Teladan (PT.LTT) di Sulteng mendapatkan nilai terendah terkait aspek tata kelola & sosial (LST) karena tidak memenuhi minimal 20% pembangunan kebun masyarakat. Tidak hanya itu, PT.LTT juga tidak segera menyelesaikan sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

Kasus anak perusahaan AALI lainnya PT Agro Nusa Abadi (PT.ANA), di Sulteng mendapatkan nilai LST terendah karena tidak memiliki legalitas penguasaan lahan dan legalitas usaha perkebunan. Lokasi PT.ANA juga ditemukan tumpang tindih dengan lokasi usaha perkebunan lainnya dan wilayah kelola masyarakat. Pada bulan Oktober 2022, perusahaan merek raksasa dunia Nestlé berkomitmen menangguhkan rantai pasok sawit dari AALI yang terlibat dalam kasus LST tersebut. Perusahaan merek besar lainnya Procter & Gamble juga menyampaikan menangguhkan AALI setelah menyimpulkan hasil investigasi dari penilaian pihak ketiga pada anak perusahaan AALI yakni PT. LTT, PT. Agro Nusa Abadi, dan PT. Mamuang. 

Kejahatan perbankan lainnya juga terungkap melalui pembiayaan BNI kepada Korindo. PT. Papua Agro Lestari (PT.PAL) anak perusahaan Grup Korindo, sebelumnya telah dilaporkan oleh TuK INDONESIA bersama koalisi Forests & Finance kepada BNI melalui whistle blowing system atas dugaan korupsi atas perolehan izin konsesi PT.PAL. Sertifikasi FSC Korindo kemudian dicabut setelah penyelidikan independen menemukan sejumlah pelanggaran sosial dan lingkungan di seluruh konsesi Korindo di Papua dan Maluku Utara. Lebih dari 65.000 ha izin pemanfaatan hutan: PT. PAL (32.348 ha), PT. Tunas Sawa Erma (19.001 ha) dan PT Berkat Cipta Abadi II (14.435 ha) dicabut KLHK pada 5 Januari 2022. Namun fakta ini tidak cukup membuka mata BNI untuk segera menghentikan pembiayaan BNI pada Korindo.

BRI juga masih menjadi pemberi dana setia perusahaan raksasa produsen minyak sawit Sinar Mas yang anak perusahaannya, PT. Kresna Duta Agrindo terlibat dalam kasus deforestasi, pencemaran air dan udara, sengketa tanah, perampasan lahan, penembakan oleh polisi, serta represi, dan intimidasi terhadap petani di Jambi. (Menuntut akuntabilitas, sepuluh studi kasus terhadap sektor minyak sawit Indonesia. (FPP, PUSAKA, WALHI, TuK INDONESIA, Juni 2021)

“Bank-bank ini harus menyusun indikator LST yang lebih detail, memberlakukan review berkala terhadap penerima dana disertai dengan uji lapangan yang komprehensif. Sektor jasa keuangan juga perlu membangun transparansi terkait informasi indikator LST dan menyediakan mekanisme komplain bagi publik”, Edi menambahkan.

“Kepada OJK, kami minta agar segera membangun hub-informasi untuk indikator LST sebagai bagian dari transparansi publik, termasuk di dalamnya mekanisme komplain. Selain itu perlu ada konsekuensi mandatoris terhadap izin usaha dan izin konsesi terkait pemenuhan indikator LST”, tukas Edi.