Berita

Ujian Pertama Komitmen Bank atas ‘Net Zero’: Raksasa Bubur Kertas & Kertas Terus Menggalang Pendanaan bagi Ekspansi Bisnis yang dapat menjadi Penghalang bagi Tercapainya Tujuan Iklim Indonesia

Kelompok masyarakat sipil memperingatkan bahwa paparan risiko material bagi lembaga keuangan belum diungkapkan

Analisis baru yang dirilis hari ini oleh koalisi organisasi masyarakat sipil memperlihatkan adanya risiko material yang signifikan bagi bank dan investor yang terlibat pada pembiayaan dua perusahaan bubur kertas dan kertas terbesar di dunia: Asia Pulp & Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International (APRIL). Menyusul janji-janji sektor keuangan yang diumumkan pada COP26 di Glasgow, koalisi ini menyatakan adanya ujian pertama dari komitmen bank atas ‘net zero’; dan memperingatkan lembaga keuangan untuk tidak mendukung ekspansi berbahaya yang diusulkan oleh dua perusahaan bubur kertas tersebut.

APP dan APRIL baru-baru ini merilis rencana untuk memperluas kapasitas pabrik mereka, sehingga makin merisikokan salah satu penyimpan karbon terestrial terbesar di dunia: lahan gambut dan hutan hujan Indonesia. Ekspansi kapasitas sebesar 150% dan 55% itu akan menelan biaya beberapa miliar dolar, yang akan mereka galang dananya dari bank internasional. Laporan terbaru menunjukkan APRIL sedang berproses dengan kreditur untuk mendapat “pinjaman berkelanjutan” yang diatur sendiri sebesar $650 juta yang sangat mungkin dialokasikan untuk ekspansi. Koalisi organisasi masyarakat sipil ini termasuk Jaringan KOARR Indonesia, Forests and Finance Jaringan Kertas Lingkungan dan BankTrack.

“Sementara bank-bank global besar berjanji untuk memenuhi Net Zero dan selaras dengan Perjanjian Iklim Paris, mereka secara bersamaan terpapar bom waktu iklim yang terus berdetak ini. Bagaimana bank-bank ini sekarang menanggapi rencana ekspansi APP dan APRIL akan menjadi ujian besar bagi komitmen iklim mereka,” kata Merel van der Mark, koordinator untuk Koalisi Hutan & Keuangan. “Selain itu, Net Zero menyiratkan bahwa korporasi yang berperilaku “bisnis seperti biasa” dapat mencapai komitmen tersebut melalui mekanisme perdagangan karbon, sehingga ujungnya akan mengurangi insentif bagi bank untuk mengurangi emisi absolut mereka. Ini adalah logika yang salah; dan menghalangi upaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil dan hutan.”

Analisis baru oleh kelompok masyarakat sipil ini menemukan bahwa tidak ada perusahaan bubur kertas yang secara akurat mengungkapkan risiko bisnis mereka karena ketergantungan mereka pada lahan gambut untuk serat kayu, serta risiko serius lainnya yang terkait dengan konflik hak atas tanah dan deforestasi. Kedua perusahaan ini memiliki masa lalu yang kurang gemilang juga. Keduanya menyebabkan kerugian besar atas kreditur-kreditur meraka pada tahun 2001 setelah Krisis Keuangan Asia. APRIL telah dihapus dari lansai bursa NYSE dan APP mengalami gagal bayar senilai $14 miliar; record terbesar dalam sejarah pasar keuangan negara berkembang.

Analisis baru dari Forests & Finance lebih lanjut menunjukkan bahwa penyandang dana utama APP dan APRIL meliputi sepuluh bank dengan komitmen untuk mencapai ‘Net Zero’ pada tahun 2050 atau lebih awal, dan/atau telah berjanji untuk menyelaraskan portofolio mereka dengan Perjanjian Iklim Paris di bawah Prinsip-Prinsip PBB untuk Perbankan yang Bertanggung Jawab (UNPRB)[1]. Dari jumlah tersebut, delapan bank saat ini terkait membiayai APP dan/atau APRIL, dengan pinjaman sebesar USD 1,1 miliar, seperti: International and Commercial Bank of China (ICBC), Mitsubishi UFJ Financial (MUFG) dan Mizuho Financial, ABN Amro, First Abu Dhabi (FAB), Maybank, Intesa Sanpaolo dan Credit Suisse. Dua bank lagi dengan komitmen ‘Net Zero’ yaitu Barclays dan Bank of Montreal menyarankan pemilik APP untuk berekspansi ke pasar Amerika Utara melalui privatisasi Domtar (NYSE:UFS) senilai $1,95 miliar yang cukup kontroversial; Domtar adalah salah satu produsen kertas terbesar di Amerika Serikat.


Analisis baru ini juga mengungkapkan bahwa APP dan APRIL menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan secara global; dari permintaan serat kayu yang sangat besar, yang sebagian besar ditanam di tanah gambut yang kaya karbon. Lahan gambut adalah penyimpan karbon terestrial alami terbesar di dunia, yang ketika dikeringkan untuk kegiatan budidaya, mengeluarkan sekitar 5% emisi global buatan manusia. Pabrik bubur kertas mereka dipasok oleh perkebunan seluas 87.000 km2 dari lahan gambut yang dikeringkan. Berdasarkan temuan dari makalah ilmiah terbaru tentang emisi dari lahan gambut Indonesia, Forest & Finance memperkirakan perkebunan ini mengeluarkan 111 juta ton CO2e per tahun melalui penurunan tanah dan peristiwa kebakaran (rata-rata 2015-2019, di mana APP menyumbang sekitar 80% dan APRIL 20%)[2]. Ini setara dengan seperlima dari seluruh emisi energi tahunan Indonesia, negara dengan populasi sekitar 274 juta orang. APP tidak mengonfirmasi kepada kami apakah mereka mengukur emisi penggunaan lahannya, sementara APRIL telah menyatakan bahwa mereka telah melakukan penelitian tetapi “tidak mempublikasikan tingkat emisi dasar saat ini”.


APP dan APRIL adalah bagian dari korporasi yang paling besar polusinya di Asia Tenggara. Mereka juga terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran hak atas tanah dan HAM berat, dan masih menerima pasokan dari perusahaan yang membuka hutan hujan,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari, Riau. “Ekspansi yang mereka rencanakan adalah strategi bisnis serampangan; saat pasar internasional mengarah pada intensif karbon di tengah krisis iklim saat ini.” a climate crisis.”

Saat negara-negara bertransisi ke ekonomi rendah karbon, emisi CO2 dari bisnis bubur kertas ini adalah risiko besar yang mewujud” kata Karen Vermeer, Koordinator Kelompok Kerja Keuangan dari EPN. “Aksi APP dan APRIL yang mengaburkan data emisi mereka seharusnya bisa menjadi peringatan bagi para kreditur dan investor. Kedua grup bisnis ini pernah mengalami kejatuhan keuangan yang sangat parah dua puluh tahun yang lalu. Dana milik bank dan investor sekali lagi terancam.” 

Lihat dua analisis untuk detail lengkap:

[1] ABN Amro, Bank of Jiujiang, CIMB Group, Credit Suisse, First Abu Dhabi Bank, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Intesa Sanpaolo, Mitsubishi UFJ Financial, Mizuho Financial, Malayan Banking (Maybank)

[2] Emisi dari penurunan muka tanah gambut: dihitung dengan mengalikan luas tanam di lahan gambut dengan 73 ton CO2e/ha/tahun (dirujuk dari Hooijer et al. 2012). Ini tidak termasuk emisi dari penurunan tanah di area lahan gambut yang tidak ditanami yang berdekatan, dan juga mengasumsikan semua area yang ditanami telah dikeringkan dan ditanami selama lebih dari lima tahun. Emisi dari peristiwa kebakaran di gambut, dihitung dengan mengalikan luas yang terbakar di lahan gambut untuk setiap tahun dengan 842 Mg CO2e/ha (dirujuk dari Vasquez et al. 2020 ‘Estimating Greenhouse Gas Emissions from Peat Combustion in Wildfires on Indonesian Peatlands’, Global Biogeochemical Cycles) . Ini tidak termasuk emisi dari kebakaran di area non-gambut, kebakaran yang menyebar di luar area konsesi dan kebakaran yang mungkin terjadi di area lahan gambut yang sama selama satu tahun.ear.