Berita
Laporan: Kebijakan Bank Global Tidak Memadai dalam Mencegah Pembiayaan Atas Deforestasi, Perubahan Iklim, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Oktober 18, 2022/in Liputan Kegiatan, Pernyataan, Siaran Pers /by Novri Auliansyah
Seiring dengan meningkatnya krisis iklim dan keanekaragaman hayati, kredit kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan juga meningkat hingga 160% antara tahun 2020 dan 2021.
Laporan terbaru, yang dirilis hari ini oleh Koalisi Forests & Finance (Rainforest Action Network, Profundo, TuK INDONESIA, Bank Track, Amazon Watch, Reporter Brasil, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth AS) menemukan bahwa tak satupun bank dan investor terbesar yang membiayai sektor berisiko tinggi Pertanian, Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lainnya (AFOLU) memiliki kebijakan Lingkungan, Sosial atau Tata Kelola (LST) yang memadai. Forests & Finance menyediakan satu-satunya platform transparansi yang mengungkapkan aliran dana pada perusahaan terbesar dengan komoditas yang merisikokan hutan, yang beroperasi di kawasan hutan tropis. Himpunan data yang ekstensif dan dapat ditelusuri telah diperbarui dengan menyertakan kredit, kepemilikan obligasi dan saham per September 2022.
Temuan mengungkap aliran dana kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan terus mengalir secara tidak terkendali. Sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyuntikkan dana sebesar 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan, dan memegang obligasi dan saham atas komoditas yang merisikokan hutan senilai 40 miliar dolar AS.
“Saat ini, semakin jelas terlihat dunia menghadapi krisis kembar: perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang menimbulkan ancaman terhadap lintas generasi dan keberlanjutan bumi. Meski demikian, lembaga keuangan dunia justru nyata-nyata terus meningkatkan pembiayaannya kepada industri yang telah mengantarkan umat manusia ke ambang k ehancuran,” ujar Tom Picken, Direktur Kampanye Forests and Finance RAN; sekaligus pendiri Forests & Finance Coalition. “Penilaian terbaru ini menunjukkan ketidakmampuan bank dan investor institusional melihat urgensi atas keadaan saat ini. Kebijakan sektor keuangan masih sangat tidak memadai. Dengan sektor AFOLU yang menyumbangkan 23% emisi karbon global, sudah jelas kita harus merombak regulasi dan pengambilan keputusan bank dan investor jika hendak serius menghadapi kondisi darurat iklim global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pemenuhan hak.”
Penilaian terbaru yang dilakukan terhadap 200 bank dan investor terbesar dalam komoditas global yang merisikokan hutan di kawasan hutan tropis menimbulkan kekhawatiran serius. Secara keseluruhan, skor rata-rata hanya 1,6 dalam skala 1-10 dan 59% lembaga keuangan hanya mendapat skor di bawah 1 yang menunjukkan kegagalan besar dalam mengelola dan mengurangi risiko LST. Hanya 3 lembaga keuangan yang mendapatkan skor 7 atau lebih tinggi yang masih dapat lebih ditingkatkan dan belum mencerminkan urgensi yang harus dihadapi dunia untuk mengatasi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Laporan singkat ini menyoroti peran lembaga keuangan bagi dua sektor yang secara khusus merusak hutan, yakni sektor bubur kertas dan kertas di Asia Tenggara dan sektor daging sapi di Amazon. Industri bubur kertas Asia Tenggara dapat dikaitkan dengan deforestasi lahan seluas lebih dari 170.000 ha dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, sejak Perjanjian Paris, sektor ini mengantongi kredit sebesar 23,6 juta dolar AS. Lima bank terbesar yang memberikan pembiayaan kepada divisi bubur kertas Royal Golden Eagle dan Sinar Mas di Asia Tenggara antara tahun 2016 dan September 2022 adalah Bank Rakyat Indonesia (4,3 miliar dolar AS), Bank Mandiri (2,7 miliar dolar AS), Bank Central Asia (2,5 miliar dolar AS), Bank Negara Indonesia (1,4 miliar dolar AS), dan British Barclays (2 miliar dolar AS). Skor rata-rata kebijakan bank yang menyediakan dana bagi sektor bubur kertas dan kertas ini hanya 1,3 dalam skala 1-10.
Sektor daging sapi merupakan pendorong deforestasi terbesar di Amazon. Meski kenyataannya tidak ada rumah potong yang dapat menjamin produknya bebas deforestasi, bank tetap menyuntikkan dananya untuk sektor ini. Bank terbesar di Brasil yang memberikan pembiayaan kepada perusahaan raksasa daging sapi JBS, Marfrig, dan Minerva antara 2016 dan September 2022 adalah Bradesco (1 miliar dolar AS), Santander (774 juta dolar AS), HSBC (746 juta dolar AS), Banco do Brasil (723 juta dolar AS), dan BTG Pactual (648 juta dolar AS). Grup perusahaan daging sapi ini juga menerima investasi dari BNDES (566 juta dolar AS), Vanguard (60 juta dolar AS), Algemeen Burgerlijk Pensioenfonds/ABP (55 juta dolar AS), dan BlackRock (46 juta dolar AS). Skor rata-rata kebijakan lembaga keuangan ini terkait sektor daging sapi hanya 1 dari 10.
Penilaian Forests & Finance tahun 2022 terhadap bank dan investor terbesar menunjukkan bahwa sebagian besar bank dan investor tidak memiliki kebijakan untuk mencegah deforestasi, degradasi gambut, kebakaran hutan dan lahan, atau menegakkan HAM, termasuk hak Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) bagi masyarakat adat dan masyarakat setempat, atau mencegah praktik kerja paksa atau pekerja anak. Kebijakan yang ada sangat minim dan jauh di bawah standar bagi upaya perlindungan. Pembuat kebijakan harus sadar dan berhenti bergantung pada lembaga jasa keuangan untuk menyediakan solusi atas krisis iklim dan alam melalui tindakan sukarela yang terbatas. Laju dan skala transisi ekonomi yang bergerak cepat membutuhkan antisipasi lembaga publik yang lebih sigap.
Pada tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20. Momentum ini harusnya dipergunakan oleh Indonesia untuk mendorong penerapan keuangan berkelanjutan. Hal ini dilatarbelakangi dari dua fakta mendasar:
- Negara-negara G20 mewakili pembiyaan yang cukup dominan pada sektor-sektor yang merisikokan hutan:
- Pada 3 region (Afrika Tengah dan Barat, Amerika Latin, dan Asia Tenggara), 90% kreditor berasal dari negara G20
- Pada 3 region (Afrika Tengah dan Barat, Amerika Lating, dan Asia Tenggara), 54% investor berasal dari negara G20.
- Pada region Asia Tenggara, 71% kreditor berasal dari negara G20.
- Pada region Asia Tenggara, 40% investor berasal dari negara G20
- Pada riset-riset TuK INDONESIA, termasuk diantaranya pembiayaan Bank Mandiri terhadap Astra Agro Lestari, ditemukan kecenderungan kepatuhan administrasi tidak selalu berbanding lurus dengan indikator Lingkungan, Sosial, dan Tata-Kelola (LST).
Melihat fakta di atas, Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menegaskan, “Posisi Indonesia sebagai presidensi G20 saat ini harusnya menjadi momentum untuk mendorong implementasi keuangan berkelanjutan secara mandatoris.”
Pada konteks kasus di tingkat akar rumput, “Temuan forests and finance ini kian melanggengkan Kejahatan korporasi, HTI di Riau merusak hutan alam, merampok hutan, serta tanah masyarakat adat. Negara-negara G20 bertanggungjawab mutlak atas kejahatan korporasi yang terjadi di Riau,” ujar Made Ali, Koordinator JIKALAHARI.
Dalam konteks investasi, Uli Arta Siagian, Manager kampanye Hutan dan Kebun Eknas WALHI, menyampaikan : “Fakta bagaimana negara-negara maju yang menjadi bagian dari G20 berinvestasi kotor dan jahat dengan merampas Wilayah Kelola Rakyat dan mengubah bentang hutan kita menjadi kebun kayu, sawit dan industry ekstraktif lainnya. Bukan hanya itu, bisnis yang eksploitatif ini membawa dunia pada situasi darurat iklim. Pemerintah Indonesia harusnya mendesak negara-negara maju ini bertanggungjawab dengan mengoreksi konsumsi, mengubah corak bisnis yang eksploitatif menuju keuangan yang berkelanjutan”.
**Laporan tersedia dalam bahasa Inggris, Portugis, dan Indonesia
**Tersedia bahan tayang, TuK Indonesia & Jikalahari