Berita

Bank Menggelontorkan Lebih dari USD 154 Miliar untuk Korporasi Penyebab Deforestasi Setelah Perjanjian Iklim Paris Ditandatangani

Situs data pertama yang mengungkap besarnya pembiayaan bagi korporasi penghasil komoditas yang merisikokan hutan – di tengah krisis kebakaran hutan dunia saat ini

Jakarta — Di tengah musim kebakaran hutan tropis yang lebih parah dari tahun 2019, situs forestsandfinance.org dengan data set terbaru mengungkap bahwa perbankan dunia telah menggelontorkan dana lebih dari USD 154 Miliar dalam bentuk kredit dan penjaminan bagi produksi dan perdagangan komoditas yang mendorong deforestasi dan degradasi lahan di tiga wilayah hutan hujan tropis Asia Tenggara, Brasil serta Afrika Tengah dan Barat sejak 2016 setelah Perjanjian Iklim Paris ditandatangani pada Desember 2015. Secara total, kredit yang disediakan bagi komoditas ini meningkat sebesar 40% bahkan per April 2020 investor juga memegang obligasi dan saham senilai USD 37 miliar di perusahaan-perusahaan ini.

Situs yang diluncurkan sebagai inisiatif bersama antara Rainforest Action Network (RAN), TuK INDONESIA, Profundo, Reporter Brasil, Amazon Watch dan BankTrack mengungkapkan aliran dana bagi lebih dari 300 perusahaan komoditas berisiko hutan terbesar yang operasinya berdampak pada hutan di Asia Tenggara, Afrika Tengah dan Barat, dan Brasil sejak Januari 2013 hingga April 2020.

Terlepas dari berbagai komitmen multilateral dan industri untuk nol deforestasi, laju deforestasi dunia terus meningkat hampir dua kali lipat selama 10 tahun terakhir. Hutan sebagian besar dibuka untuk komoditas agribisnis yang seringkali secara ilegal terkait erat dengan korupsi, penggelapan pajak, dan kejahatan terorganisir. Komoditas ini secara kolektif dikenal sebagai “komoditas yang merisikokan hutan”, termasuk diantaranya adalah daging sapi, minyak sawit, bubur kertas & kertas, karet, kedelai, dan kayu.

Pada 2019 saja, deforestasi hutan hujan tropis mencapai 11,9 juta hektar dan menyebabkan hilangnya habitat satwa liar yang menurut Program Lingkungan PBB (UNEP) menjadi faktor penting munculnya penyakit zoonosis seperti COVID-19. Kredit dan investasi memegang peran penting untuk membiayai ekspansi dan kegiatan operasional sehari-hari perusahaan yang bertanggung jawab atas deforestasi.

“Saat ini, api sengaja digunakan untuk membakar dan menghanguskan hutan hujan terakhir yang tersisa di dunia. Membersihkan lahan dengan api adalah cara termurah untuk menghasilkan komoditas. Bank dan investor global secara sadar mendanai perusahaan raksasa agribisnis yang memicu kebakaran,” kata Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil atas Hutan dan Keuangan. “Terlepas dari komitmen sektor keuangan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Perjanjian Iklim Paris, upaya mengejar keuntungan mereka telah membawa kita semua lebih cepat sampai pada bencana iklim dan bencana kesehatan”.

Hanya 15** bank yang memberikan sekitar 60% dari kredit senilai USD 154 miliar  untuk perusahaan-perusahaan yang merisikokan hutan sejak penandatanganan Perjanjian Iklim Paris. Delapan dari 15 bank tersebut adalah penandatangan Prinsip Perbankan yang Bertanggung Jawab PBB (UN PRB), yang mencakup komitmen untuk menyelaraskan kegiatan operasional bank dengan Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), termasuk TPB 15 untuk menghentikan deforestasi dan memulihkan hutan yang terdegradasi pada tahun 2020.

Dalam hal sumber pembiayaan, bank dari Brasil, China, Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat dan Jepang merupakan penyandang dana terbesar. Temuan ini menggambarkan lemahnya aturan dan kebijakan perusahaan yang diperlukan untuk membawa sektor keuangan sejalan dengan prioritas lingkungan dan sosial global.

“Bank dan investor yang berbisnis di Indonesia secara rutin mendanai deforestasi, perusakan gambut dan pelanggaran hak asasi manusia melalui operasi klien mereka. Namun bank enggan mengungkap dampak langsung dari pembiayaan yang mereka gelontorkan kepada publik, pemegang saham maupun regulator mereka—seperti kabut asap tahunan akibat kebakaran hutan yang mematikan,” kata Edi Sutrisno, TuK INDONESIA. “Reformasi mendesak untuk segera terjadi, sehingga bank patuh menerapkan kriteria pinjaman yang lebih ketat dan dapat membuat sektor keuangan mendapatkan pengawasan dan pemantauan publik yang lebih besar.”

“Masyarakat adat Amazon menghadapi musim kebakaran dahsyat, menambah tragedi yang terjadi di tengah wabah COVID-19,” kata Christian Poirier dari Amazon Watch. “Kebakaran di Amazon Brasil berada pada titik tertinggi dalam 10 tahun, dengan peningkatan 77% kejadian berada di wilayah adat sejak tahun lalu. Lonjakan ini merupakan produk dari deforestasi dan pembakaran ilegal, suatu tindakan kriminal yang dipicu oleh komoditas yang merisikokan hutan dan dibiayai oleh raksasa keuangan global. Kami menegaskan kepada bank dan investor global, bahwa data ini secara jelas mengungkap keterlibatan kalian dalam bencana ini.”