Berita

Perbankan menyulut kebakaran yang mematikan, Covid 19 melipatgandakan risiko tersebut

Bumi kembali memasuki musim bencana kebakaran besar, yang sudah melanda hutan tropis di Indonesia, Brasil dan wilayah Afrika tengah, serta hutan boreal di Siberia Rusia dan hutan hujan tropis sedang di California. Kebakaran yang terjadi menghancurkan ekosistem hutan dan mendorong perubahan iklim. Untungnya, semakin banyak bank dan investor kini mulai memahami bahwa mereka memiliki andil atas tindakan perusahaan dan pemerintah negara-negara yang tak terpuji itu, dan dapat menekan mereka untuk mengatasi krisis kebakaran. Namun, apakah upaya yang dilakukan sudah cukup?

Di Brasil, kebakaran sangat erat kaitannya dengan spekulasi lahan dan perluasan batas wilayah pertanian ke dalam kawasan hutan. Api seringkali digunakan untuk membuka lahan penggembalaan atau kebun kedelai. Sebagian besar kebakaran terjadi di lahan tak bertuan; yang sering kali merupakan bagian dari perampasan lahan, sehingga sulit untuk mengidentifikasi pelakunya. Akan tetapi, suatu studi yang dilakukan pada tahun 2019 menyebutkan bahwa hampir 50% dari total kebakaran yang terjadi di Brasil terjadi di wilayah yang potensial akan dibeli oleh perusahaan pengepakan daging yaitu JBS, Minerva, dan Marfrig. Santander dan HSBC adalah penyandang pendana terbesar dari ketiga perusahaan tersebut. Baru-baru ini, kebakaran yang terjadi semakin parah.

Pertemuan antara Wakil Presiden Hamilton Mourão dan anggota Komisaris serta Dewan Direksi Bank Santander Brasil di Brasília. 23 Juli 2020. Gambar oleh Romério Cunha / VPR (Wakil Presiden Brasil).

Setelah kebakaran meningkat drastis di Amazon, Brasil pada tahun 2019, sekelompok investor internasional dengan aset senilai 16 triliun Dolar AS menekan Presiden Bolsanaro agar menanggapi kekhawatiran mereka. Meskipun pernyataan saja tidak dapat disebut sebagai respon yang memadai, hal ini menunjukkan adanya harapan yang meningkat pada sektor jasa keuangan agar mereka tidak enggan mengakui andil mereka dalam melanggengkan kerusakan lingkungan dan sosial dan kemudian mau mengambil langkah yang sesuai.

Sayangnya, tidak ada intervensi serupa dari investor terhadap kebakaran yang terjadi di Indonesia akibat ekspansi perkebunan sawit dan HTI. Perusahaan perkebunan menggunakan api untuk  membakar  sebagai metode ilegal dan murah untuk membuka lahan sebelum melakukan penanaman, dengan cara memangkas biaya pembersihan ranting dan sisa tebangan lainnya, pemupukan lahan, serta membunuh gulma dan hama. Saat hal ini berduet dengan pembangunan perkebunan yang tidak berkelanjutan di lahan gambut yang kaya karbon, api acap kali menjadi tidak terkendali dan tidak dapat dipadamkan, dan hal ini bisa berlangsung hingga beberapa pekan. Dalam hal dampaknya bagi iklim, kebakaran di Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih tinggi dari pada kebakaran di Amazon.

Kebakaran & COVID-19: Duet Maut 

Asap beracun hasil kebakaran ini menyebar melewati batas negara dan membawa dampak kesehatan masyarakat dan ekonomi yang parah. Tahun ini bencana asap mungkin dapat memperparah dampak COVID-19. Beberapa studi menyatakan bahwa peningkatan jumlah partikel polusi udara halus (seperti yang dihasilkan dari kebakaran) bahkan dalam jumlah sangat kecil sekalipun dapat meningkatkan tingkat kematian COVID-19 secara signifikan. Di Indonesia dan negara-negara tetangga, asap kebakaran saja sudah berdampak luar biasa terhadap kesehatan. Studi tahun 2016 yang banyak dikutip berbagai media memperkirakan bencana asap tahun 2015 menyebabkan lebih dari 100.000 kematian dini di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Bencana asap tahun 2019 mengakibatkan lebih dari satu juta orang menderita infeksi pernafasan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat bahwa asap  yang melampaui batas negara berpotensi menghentikan kehidupan normal sehari-sehari, dan dengan demikian asap tahun ini berpotensi semakin memukul ekonomi dan keuangan negara yang telah tertekan oleh pandemi. Kebakaran yang terjadi pada tahun 2019 diperkirakan merugikan perekonomian  Indonesia senilai USD 5,2 Miliar – dan USD 16 Miliar pada tahun 2015.

Perbankan tengah memicu kebakaran di Indonesia

Setelah kebakaran tahun 2015, Presiden Jokowi menyatakan bencana yang terjadi adalah kejahatan lingkungan terorganisir dan berjanji akan bekerja keras melawan pemain korporasi yang bertanggung jawab. Pada tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel 90 perusahaan sawit, HTI, dan karet akibat kebakaran, 24 dari perusahaan-perusahaan tersebut diberitakan menghadapi sanksi perdata dan pidana (nama perusahaan tersebut belum diumumkan). Sebagian daftar perusahaan yang disegel sudah diungkapkan atau dibocorkan, dan sebanyak 37 perusahaan di antaranya diidentifikasi sebagai induk dari grup perusahaan besar.

Meskipun pemerintah meningkatkan upaya penindakan terhadap perusahaan penyebab kebakaran, hanya sejumlah kecil penyidikan  berujung pada sanksi yang signifikan, dan bahkan lebih sedikit lagi dari sanksi tersebut  dieksekusi oleh pengadilan: denda senilai triliunan rupiah tidak dibayarkan.

Tanpa adanya aturan tegas mengenai pengelolaan risiko atau uji tuntas pada sektor jasa keuangan, masalah ini akan terus diabaikan oleh perbankan, yang  kemudian tetap memberikan kredit besar bagi perusahaan yang melakukan pengembangan di lahan gambut yang mudah terbakar atau di area yang konsesinya memiliki sejarah kebakaran. Situs Forestandfinance.org telah memetakan pembiayaan bagi 19 dari 37 grup perusahaan yang teridentifikasi. Situs ini juga menunjukkan bahwa dari tahun 2015 hingga  April 2020, grup-grup tersebut menerima dana setidaknya sejumlah USD 37,4 Miliar dalam bentuk utang dan penjaminan. Angka ini telah disesuaikan agar menunjukkan secara khusus pembiayaan divisi sawit, karet dan bubur kertas & kertas saja. Grup perusahaan yang terlibat dalam kebakaran meliputi perusahaan-perusahaan terbesar minyak sawit, bubur kertas & kertas serta karet di Indonesia.

20 Kreditur terbesar bagi grup perusahaan yang terlibat dalam kebakaran 2019 (2015 – Kuartal I, 2020)

Meski kebakaran telah menyebabkan kerugian yang  sangat besar bagi perekonomian dan pendanaan publik, tiga dari lima kreditur terbesar yang mendanai kegiatan operasional yang terlibat dengan kebakaran adalah bank yang mayoritasnya milik negara, yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Mandiri. Ketiga bank ini menyediakan utang dan penjaminan total senilai USD 8,2 Miliar. Dari ketiga bank ini, tak satu pun yang memiliki kebijakan umum tentang pencegahan kebakaran, atau larangan bagi kliennya untuk melakukan ekspansi ke area baru di atas lahan gambut yang rentan kebakaran.

Secara gamblang bank-bank Malaysia dan Singapura juga menjadi penyandang dana utama bagi grup perusahaan yang terlibat dalam kebakaran, meskipun negara dan perekonomian mereka telah terkena dampak yang parah akibat kabut asap lintas negara. Beberapa grup perusahaan yang terlibat dalam kebakaran seperti Kuala Lumpur Kepong/Batu Kawan, IOI, Genting, NPC Resources, dan TDM adalah perusahaan terbuka. Sementara itu, Singapura adalah negara manca yang menjadi tujuan banyak taipan Indonesia untuk mendaftarkan atau memusatkan bisnis mereka, termasuk Royal Golden Eagle dan Sinar Mas Group.

Banyak di antara bank yang disebutkan ini merupakan penanda tangan Prinsip Perbankan Bertanggung Jawab (PRB) PBB, artinya bank tersebut berkomitmen untuk menyelaraskan strategi bisnisnya dengan Kesepakatan Iklim Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Membiayai kebakaran jelas tidak sejalan dengan tujuan PRB. Bank-bank ini antara lain: Mizuho Financial Group (Mizuho), Grup CIMB, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), Rabobank, Grup SMBC, dan ABN AMRO. Rabobank, SMBC, dan ABN AMRO lebih-lebih telah memiliki kebijakan yang secara tegas melarang nasabahnya menggunakan api untuk membuka lahan.

Mengalahkan supremasi hukum? 

Daftar terbatas perusahaan perkebunan yang disegel pemerintah Indonesia tidak dapat menunjukkan kesalahan mutlak Indonesia atas krisis kebakaran dan asap di tahun 2019. Citra satelit dan data titik api menunjukkan bahwa aktor korporasi lainnya juga mengalami kebakaran besar dalam konsesinya, namun tidak dilaporkan adanya penyegelan atas kebunnya. Perusahaan tersebut antara lain: Astra Agro Lestari (IDX: AALI) dan Golden Agri Resources (SGX: E5H), yang masing-masing merupakan anak-anak perusahaan dari Grup Jardine Matheson dan Grup Sinar Mas. Empat dari konsesi perkebunan sawit Astra Agro Lestari mengalami kebakaran di bulan Agustus-September 2019. Tiga di antaranya juga dilanda kebakaran di tahun 2016-2018, dan keempatnya dikembangkan di lahan gambut. Inkonsistensi upaya penegakan hukum menekankan perlunya bank meningkatkan uji tuntas yang lebih andal dibandingkan dengan penyingkapan oleh penegak hukum.

Api dari kebakaran dan bekas area terbakar yang terlihat dalam wilayah PT Persada Dinamika Lestari (AAL)

Beberapa penyandang dana terbesar Astra Agro Lestari meliputi bank raksasa dari Jepang, yaitu: SMBC, Mizuho, dan MUFG. Perlu digarisbawahi bahwa Direktur Jardine Matheson Holdings, perusahaan pemilik AAL, juga menduduki jabatan sebagai anggota Dewan Penasihat Global MUFG, hal ini mengindikasikan adanya konflik kepentingan yang cukup potensial. MUFG juga adalah penyandang dana utama GAR. Kami akan membahas kaitan antara pembiayaan dan kebakaran GAR dalam Bagian 2 blog ini.

Kreditur Terbesar Grup Jardine Matheson dan Sinar Mas, 2015 – April 2020, dalam USD Juta

Apa yang seharusnya dilakukan oleh bank?

Kurangnya sanksi yang efektif di satu sisi, dan batas maksimal kredit yang tinggi di sisi lain, meniadakan insentif bagi perusahaan untuk memperbaiki kegiatan operasionalnya, lebih-lebih mereka tidak dibebani kerugian miliaran dolar akibat kebakaran yang mereka sebabkan.

Bank yang benar-benar ingin mengatasi krisis iklim, krisis keanekaragaman hayati, dan krisis kesehatan akibat COVID-19 harus segera menciptakan insentif maupun efek jera yang dapat menghentikan kebakaran. Upaya ini harus mencakup larangan tegas atas penggunaan api dalam pembukaan lahan serta menerapkan ‘kebijakan nol deforestasi, gambut dan eksploitasi (NDPE) yang komprehensif, yang mensyaratkan klien untuk tidak terlibat deforestasi, mengembangkan lahan gambut, atau melakukan eksploitasi atas masyarakat dan pekerja setempat.