最新記事&分析

Opini: Taksonomi Hijau dan Keadilan Sosial Ekologis

Link asli di sini

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, menjalankan program mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim global tidaklah mudah, terutama terkait pendanaan.

Dalam kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) 2019,  Kementerian Keuangan, untuk mencapai target nationally determined contributions (NDC) sesuai Kesepakatan Paris, Indonesia memerlukan pendanaan sekitar Rp266,2 triliun per tahun, sementara  APBN hanya mampu mendanai 34% per tahun.

Idealnya,  pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia, tak hanya mengandalkan APBN, karena selain masalah kapasitas fiskal, masih banyak potensi sumber pendanaan belum optimal. Itu sebabnya untuk mengejar target net zero emissions (NZE) 2060, Indonesia tengah giat menggalang pendanaan secara masif, dari sumber domestik maupun internasional.

Kini, makin marak entitas global dan nasional yang siap mendukung aksi pengendalian perubahan iklim di Indonesia. Dalam setiap dukungan pendanaan, sejumlah lembaga donor dunia, korporasi dan NGO transnasional pada umumnya menganjurkan atau mensyaratkan prinsip hijau dan berkelanjutan.

Pada gilirannya diskursus global tentang ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan, berikut skema pembiayaan hijaunya, sudah menjadi keharusan pembangunan aras global, termasuk bagi Indonesia.

Diperkirakan, lahan yang dibuka untuk kebun sawit ilegal ini seluas 1.655 hektar. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Melampaui semata demi ‘bisnis’

Aliran dana untuk program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim tersedia melalui beragam modalitas pendanaan, seperti hibah, pinjaman lunak, result base payment, ekuitas dan penjaminan.

Satu hal yang mesti dipastikan, bagaimana dampak proyek mitigasi dan adaptasi dalam mencapai tujuannya. Juga,  bagaimana dana itu tepat sasaran, dengan mempertimbangkan urgensi penerima manfaat.

Untuk itu perlu panduan bagi percepatan implementasi pendanaan hijau.

Percepatan implementasi keuangan hijau di Indonesia salah satunya dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setelah meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia (THI) pada Januari 2022. Kemudian diperbarui jadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) yang rilis Februari 2024.

TKBI yang OJK keluarkan merupakan klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung upaya dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia (TPB/SDGs) yang mencakup aspek ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial.

TKBI hadir sebagai panduan untuk mendorong alokasi modal dan pembiayaan berkelanjutan dalam mendukung pencapaian target Nationally Determined Contributios (NDC) pada 2060 atau lebih awal.

Merujuk data laporan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK), 2024, perlu uji dan cermati komitmen Indonesia mengimplementasikan keuangan berkelanjutan lebih jauh agar tantangan dapat terpetakan berdasarkan data-data empirik.

Penilaian IFC (2019), menggambarkan, Indonesia termasuk negara first movers dalam bidang ini. TuK (2019) dalam investigasinya masih menemukan praktik penyimpangan oleh sektor jasa keuangan (SJK) dalam pembiayaan kepada klien di sektor perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) yang beroperasi tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan.

Untuk itulah, TKBI diharapkan dapat membantu proses pemantauan berkala dalam implementasi penyaluran kredit/pembiayaan/investasi ke sektor hijau dan mencegah potensi pelaporan hijau yang kurang tepat.

Kendati tantangan terbesar bagi proses implementasi ini adalah sejauh mana TKBI dapat menjawab permasalahan-permasalahan lingkungan dan sosial yang ada. Kemudian memastikan agar setiap aktivitas pembiayaan benar-benar sejalan dengan komitmen dan target menjaga suhu global.

Penegasan ini penting, mengingat globalisme kesadaran ekologis seolah telah menjelma menjadi etika dan mantra pembangunan global.

Akibatnya, hampir semua kebijakan pembangunan, termasuk doktrin dan resep pembangunan negara maju yang dianjurkan kepada negara berkembang, harus terpandu dengan label dan legitimasi serba “green”, “eco”, “ramah lingkungan”, dan “berkelanjutan.”

Tak terkecuali skema pembiayaan dan sektor keuangan. Lahirnya konsep keuangan berkelanjutan pada prinsipnya berangkat dari gagasan optimis bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat terus tumbuh dengan sifat yang “hijau” melalui pengendalian pemanfaatan sumber daya alam dan pemanfaatan nilai ekonomi hayati.

Meski demikian, pelekatan kata ‘hijau’ dan berkelanjutan dalam praktiknya ternyata ‘belum menjamin’ pemenuhan syarat keadailan secara sosial dan ekologis.

Pada dasarnya,  orientasi pada pertumbuhan ekonomi seperti itu, terutama pada tujuan keuangan berkelanjutan dengan dukungan negara dan kelompok pemberi dana, masih melihat pembangunan dan pembiayaan hijau dari sudut pandang “business as usual”

Artinya, masih memprioritaskan dan memfokuskan pada aktivitas yang lebih menguntungkan secara ekonomi langsung dan peningkatan akumulasi laba.

Ketika sumber energi ciptakan masalah lingkungan dan sengsarakan hidup masyarakat, apakah itu bisa masuk kategori energi bersih dan berkalanjutan? Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

Mencegah green grabbing dan washing

Kendati dikemas dalam label “hijau” dan berjudul ‘keberlanjutan’, dalam beberapa kasus proyek pembangunan acapkali berubah menjadi model baru perampasan tanah dan ruang hidup rakyat atasnama tujuan tujuan konservasi dan lingkungan (green grabbing).(Fairhead, Leach & Scoones, 2012).  Seperti kasus proyek strategis nasional (PSN) Eco City Rempang dan Eco Tourisme Labuhan Bajo, dan beragam perusahaan sawit yang mengklaim dengan standar “berkelanjutan” namun menggusur ruang hidup warga sekitar termasuk komunitas masyarakat adat.

Tujuan atas nama pembangunan dan ekonomi hijau pun bersifat ‘prosedural’ dengan selubung dan jargon “ramah lingkungan” cenderung dianggap “netral” dan bebas kepentingan ekonomi-politik.

Padahal, hakekatnya proyek lingkungan apapun tidak akan pernah netral dan melekat di dalamnya tujuan ekonomi politik (Harvey 1996). Bahkan dalam beberapa kasus lain, praktik green grabbing bisa berubah menjadi kejahatan hijau (green crime) berkorelasi dengan bentuk disorganisasi ekologis hasil keretakan metabolik akibat dari eksploitasi alam yang melebihi ambang batas, komoditifikasi alam serta reproduksi efek penggunaan pupuk kimia berlebihan (Lynch, 2020).

Untuk itu, berdasar argumen dan kasus empirik itu dapat menjadi tantangan TKBI sebagai platform yang memandu dan memonitor proyek yang diklaim sebagai “hijau” dan ramah lingkungan.

Kini, TKBI telah mengubah secara mendasar klasifikasi aktivitas ekonomi dari “merah, kuning, dan hijau” yang terdapat di dalam THI, menjadi “hijau, transisi, dan “tidak memenuhi kualifikasi.” Perubahan ini, meskipun tampak sebagai upaya penyempurnaan, justru menimbulkan sejumlah pertanyaan dan ambiguitas.

Definisi “hijau” dan “transisi” yang masih bersifat kualitatif dan kurang detail, membuka peluang interpretasi beragam dan berpotensi menimbulkan greenwashing; penipuan citra ramah lingkungan (Westervelt, 1986).

Merujuk data pilot project pelaporan THI (2022), menunjukkan pembiayaan kepada sektor ekonomi klasifikasi ‘hijau’ persentase masih rendah, sekitar Rp294,20 triliun atau 28% dari total pembiayaan. Sedangkan, klasifikasi ‘merah’ Rp378,16 triliun atau 35% dari total pembiayaan dan ‘kuning’ Rp392,87 triliun atau 37% dari total pembiayaan.

Dengan demikian, perubahan klasifikasi ini justru dapat melemahkan pengawasan aktivitas ekonomi berisiko, dan berpotensi menghambat upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Sisi lain, TKBI juga masih membuka peluang bagi aktivitas energi fosil batubara untuk mendapat pembiayaan berkelanjutan. TKBI memasukkan aktivitas percepatan pengakhiran masa operasional PLTU batubara kedalam kategori “hijau” atau “transisi”.

Sementara itu, PLTU existing atau yang beroperasi dan pembangunan PLTU baru sebelum Perpres 112/2022 masuk kategori klasifikasi maksimum “transisi”.

TKBI juga masih menerapkan perbedaan tingkat keketatan kriteria pada pembangkit listrik bertenaga batubara dengan pembangkit listrik tenaga lai. Hal ini menunjukkan inkonsistensi dan keberpihakan panduan TKBI ini terhadap energi kotor batubara.

Pembangkit lain seperti air, panas bumi, surya, angin dan sebagainya, memiliki persyaratan khusus yang lebih ketat. Pembangkit listrik lain akan mendapat kategori “transisi” jika emisi daur hidup dari seluruh fasilitas pembangkit listrik berada di antara 100-510 gram setara karbon dioksida per kWh.

Kategori “hijau” jika emisi daur hidup pembangkit di bawah 100 gram setara karbon dioksida per kWh. Peluang PLTU batubara untuk mendapatkan pembiayaan berkelanjutan masih terbuka lebar melalui kategori aktivitas penggalian dan penambangan mineral kritis yang mendorong teknologi bersih dan transisi energi dengan klasifikasi maksimum “transisi”.

Mengingat PLTU batubara saat ini masih menjadi andalan berbagai industri, termasuk memainkan peranan penting dalam supply chain di manufaktur teknologi energi bersih semisal baterai kendaraan listrik dan panel surya.

4. Aktivitas penggalian tambang nikel PT WIN mendekati pemukiman dan fasilitas warga di Desa Torobulu. Foto: Ekho Ardiyanto

Rambu-rambu keadilan sosial ekologis

Setidaknya ada tiga faktor utama yang menyebabkan implementasi keuangan berkelanjutan atau pembiayaan hijau belum efektif di Indonesia.

Pertama, orientasi negara masih pada ekonomi pertumbuhan (pro growth), tercermin dalam keputusan pembiayaan perbankan yang lebih memprioritaskan keuntungan finansial daripada kinerja environmental, social, and governance (ESG).

Kedua, tidak ada kekuatan memaksa SJK memperhatikan aspek ESG. Ketiga, penegakan hukum lingkungan tidak efektif. Hingga perlu dukungan dan keterlibatan seluruh komponen masyarakat memperkuat OJK dalam mengawal seluruh implementasi kebijakan keuangan berkelanjutan.

Dengan catatan itu,  OJK membuka diri untuk melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil, seperti terlibat di dalam Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan untuk memastikan konsistensi implementasi keuangan berkelanjutan (Keraf (2023).

Untuk itu,  rambu-rambu (yang boleh dan tidak) dalam praktik pembiayaan hijau menjadi krusial. Pendasaran rambu-rambu itu perlu mulai dari penegasan bahwa taksonomi dan pembiayaan hijau sebagai mandatori.

Penegasan ini bertujuan agar selaras dengan komitmen iklim. Bila bersifat mandatori, penting ada sanksi tegas, bukan sekadar teguran. Semisal, pembatasan pembiayaan atas klasifikasi aktivitas ekonomi ‘merah, kuning, hijau’. Syarat mandatori ini penting karena dalam banyak kasus, justru pelanggar aturan adalah perusahan-perusahaan raksasa berbasis sumber daya alam. Ia kerap menjadi penyebab dan melakukan “kejahatan lingkungan.”

Sifat mandatori akan memperkuat legitimasi mencegah kerusakan dan kejahatan lingkungan terjadi lebih lanjut.

Sisi lain, perlu memastikan salah satu klasifikasi dalam praktik taksonomi  berupa label “transisi” dapat memberikan perkembangan positif, bukan untuk tujuan melakukan pengaburan dengan kategori “transisi.”

Penggunaan klasifikasi “transisi” dalam beberapa kasus PSN justru menghambat implementasi dari tujuan pembangunan dan pembiayaan hijau. Kasus proyek transisi energi, misal, klaim energi terbarukan dengan konsep hilirisasi, dalam praktik masih mengabaikan dimensi keberlanjutan, keadilan sosial ekologis justru menjadi penyebab deforestasi, korupsi struktural dan berdampak pada multi dimensi krisis ekosistem bagi masyarakat (Cahyono, dkk, TII, 2024).

Bukti empirik ini menegaskan, dalam perspektif historis-kritis konsep “transisi energi” sebenarnya merupakan kedok (baru) dari bentuk pengaturan politik ekstraktif (extractive political governmentality) dan deversifikasi bisnis fossil yang beroperasi dengan mekanisme dominasi, ekstraksi dan eksploitasi (Habibburachman, 2024).

Syarat rambu-rambu selanjutnya adalah urgensi kebijakan dengan standar hijau yang jelas dan kuat, guna mencegah praktik greenwashing dari perusahaan-perusahaan berbasis sumber daya alam. Misal, dalam penilaian TKBI untuk klasifikasi “hijau” tidak bisa hanya mencantumkan sertifikasi berkelanjutan sebagai indikator. Sebab, banyak sertifikasi tidak mencerminkan keadaaan sesungguhnya di lapangan.

Sebagai contoh, sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk perkebunan sawit. TuK Indonesia menemukan masih ada anggota RSPO yang berpraktik “ilegal,” tidak memiliki izin lengkap.

Maka, langkah penguat berikutnya adalah pentingnya mengembalikan warna “merah” sebagai klasifikasi. Sebab, merujuk TKBI: “tidak memenuhi kualifikasi” sebenarnya tidak masuk dalam klasifikasinya. Meskipun,  dalam penjelasan pelaporan sementara ini, “tidak memenuhi kualifikasi” cenderung sama dengan klasifikasi warna ‘merah’.

Penting memasukkan ‘merah’ lagi agar OJK memiliki daftar merah/daftar hitam korporasi berbasis sumber daya alam yang seharusnya tak layak dapat pembiyaan. Dengan begitu, ia dapat menjadi referensi lembaga jasa keuangan, bank dan para persaingan usaha menjadi lebih sehat.

Dasar lain dalam rambu-rambu itu adalah urgensi menghindari kemungkinan penyimpangan dan salah sasaran dalam pendanaan hijau. Penting memperhatikan beberapa hal. Petama, memastikan seluruh bentuk proyek pembangunan mengatasnamakan “hijau” memenuhi tujuan substantif, bukan semata prosedural merujuk prinsip dasar deep ecology dan selaras dengan mandat konstitusi demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan.

Kedua, keniscyaan prinsip kehati-hatian bagi OJK dalam menentukan TKBI agar konsisten mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan yang holistik dan tepat sasaran. Hal ini untuk menghindari definisi terlalu luas, longgar dan bisa multi tafsir. Ini untuk menutup rapat peluang pembajakan korporasi melakukan greenwashing yang dapat merusak kredibilitas pasar hijau Indonesia serta menghambat tujuan pembangunan berkelanjutan yang hakiki.

Ketiga, penting pelibatan penuh dan bermakna kelompok-kelompok masyarakat sipil (aktivis NGO, akademisi, jurnalis) guna memastikan tujuan pembangunan hijau (TPB/SDGs) terpenuhi.

Keempat, penting prinsip keselarasan dan interseksionalitas isu, antara taksonomi hijau dengan tujuan lain, seperti kemiskinan, ketimpangan agraria, deforestasi, inklusi sosial, keadilan gender, dan HAM.

*Penulis: Linda Rosalina dan Eko Cahyono. Linda Rosalina adalah Direktur Eksekutif Transformasi Untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan  Eko Cahyono merupakan peneliti Sajogyo Institute dan Mahasiswa Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB University. Tulisan ini merupakan opini mereka.

Spanduk tolak PSN yang dirusak oknum tidak bertanggung jawab di Pulau Rempang. Foto Yogi Eka Sahputra