Berita
Bank Mendanai USD 37,7 Miliar ke Perusahaan Tambang Yang Menyebabkan Kerusakan Lingkungan dan Pelanggaran HAM
Jakarta, 20 April 2022 – Data terbaru yang diluncurkan hari ini oleh koalisi internasional Forests & Finance mengungkap bank-bank yang telah memberikan kredit sebesar USD 37,7 miliar kepada 23 perusahaan pertambangan kecil hingga besar yang berisiko menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tiga wilayah tropis. 5 pemodal teratas adalah Citigroup, BNP Paribas, SMBC Group, MUFG dan Standard Chartered. Dari semua kredit yang diberikan sejak tahun 2016 setelah Perjanjian Paris ditandatangani, 43% kredit diberikan kepada perusahaan di Asia Tenggara (USD 16,1 miliar), sementara Afrika Tengah & Barat dan Amerika Latin keduanya menerima USD 10,8 miliar.
Tabel 1 : Lima belas kreditur terbesar berdasarkan wilayah; dengan hutan yang berisiko selama tahun 2016-2021 (dalam juta dolar AS)
“Kami merilis data ini untuk memperbaiki transparansi lembaga jasa keuangan yang menjadi pendukung perusahaan tambang yang berisiko menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan pelanggaran HAM serta membawa berbagai dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan di seluruh dunia hingga menjadi pendorong deforestasi yang cukup signifikan di kawasan tropis. Data ini bisa digunakan sebagai alat bagi masyarakat sipil untuk menuntut pertanggungjawaban penyandang dana dan investor atas berbagai dampak proyek-proyek yang mereka biayai.” tutur Merel van der Mark, Koordinator Koalisi Forests & Finance.10 grup perusahaan terbesar yang menerima kredit ini meliputi: Glencore, yang telah dikaitkan dengan kondisi kerja yang buruk dan pencemaran lingkungan di Kongo; Vale, yang terlibat dalam konflik dengan masyarakat adat dan komunitas tradisional di Brasil dan juga Indonesia; dan Freeport McMoRan, yang telah mencemari saluran air dan dikritik karena memicu konflik bersenjata di Papua dengan sejumlah pelanggaran HAM.[1]
Tabel 2: Sepuluh grup korporasi penerima kredit terbesar tahun 2016-2021
TuK INDONESIA sebagai anggota koalisi Forest & Finance bersama WALHI merespon temuan ini sebagai pembiayaan besar atas kejahatan kemanusiaan. “Freeport adalah gambaran luka bagi orang Papua. Operasional Freeport di Papua bukan hanya menyebabkan kerugian secara ekonomi, tapi juga telah menghancurkan sumber sumber kehidupan dan lingkungan hidup serta menghilangkan nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh orang Papua dan Bangsa Indonesia”, ujar Hadi Jatmiko, Kepala Divisi Kampanye Walhi.
Sedangkan pertambangan PT. Vale yang beroperasi di Sorowako, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel) telah merusak ekosistem Danau Mahalona akibat transport sedimen melalui sungai yang membuat luas Danau Mahalona menyusut 151 hektar. Populasi Ikan Butini (Glosogobius matanensis) yang merupakan ikan endemik di Danau Matano, Mahalona dan Towuti juga mengalami penurunan hingga nelayan sulit mendapatkan ikan. PT Vale Indonesia menguasai konsesi lahan seluas 118.000 hektar, termasuk Pegunungan Sumbitta yang merupakan benteng terakhir sumber kehidupan Masyarakat Adat dan lokal yang harus diselamatkan dari penambangan.[2]
“Bank dan kreditur ini harus mengetahui bahwa selama 53 tahun PT. Vale di Indonesia, Brazil, Jepang dan Kanada semakin kaya bersama para pemegang sahamnya karena pertambangan dan pengolahan nikel di Blok Sorowako. Sementara masyarakat adat, lokal, buruh kontrak, nelayan hidup miskin dan menanggung resiko penyakit dan kerusakan lingkungan akibat aktivitas perusahaan ini. Apa yang didapatkan masyarakat sangat tidak sebanding dengan keuntungan perusahan-perusahaan tersebut,” ungkap Andiransyah dari Celebes Bergerak.
Edi Sutrisno Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menegaskan bahwa Bank-bank yang memberikan kredit ini harus segera memperbaiki kebijakannya dan menyelaraskan kebijakan mereka dengan aturan Taksonomi Hijau yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Saat ini sektor pertambangan batu bara masih masuk ke dalam klasifikasi kuning atau tidak membahayakan dalam taksonomi tersebut, padahal pada prakteknya pertambangan industri menyebabkan dampak sosial-lingkungan yang besar secara global.” ungkap Edi.
Menanggapi temuan ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa “Lembaga keuangan yang seharusnya menjadi motor utama dalam mitigasi perubahan iklim melalui pembiayaan ke sektor energi bersih dan berkelanjutan, ternyata masih terjebak pada keuntungan jangka pendek pendanaan sektor ekstraktif. Jangan sampai harga komoditas yang sedang tinggi dimanfaatkan bank untuk cuci tangan dari tanggung jawab lingkungan hidup. Bank sebaiknya segera beralih dari sektor ekstraktif, sebelum ditinggal oleh nasabah dan investor yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang lestari”.
Dirilisnya data baru ini juga menyusul diterbitkannya Laporan Keterlibatan dalam Complicity in Destruction IV[3] oleh Asosiasi Masyarakat Adat Brasil (APIB) dan anggota koalisi Forests & Finance: Amazon Watch, yang menunjukkan bagaimana perusahaan tambang dan investor internasional mendorong pelanggaran hak adat dan mengancam masa depan ekosistem Amazon.Forests & Finance merupakan inisiatif koalisi organisasi riset dan kampanye, meliputi: Rainforest Action Network (RAN), TuK INDONESIA, Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth US. Kumpulan data dengan sistem sumber data terbuka ini mudah dicari dan tersedia di situs web Forests & Finance yang sudah terlebih dahulu memuat kumpulan data komprehensif tentang aliran dana kepada perusahaan komoditas yang berisiko terhadap hutan di negara dengan hutan hujan tropis.
Catatan kaki:
[2] WALHI Sulawesi Selatan: Dampak dan Seruan Hentikan Pertambangan PT Vale di Blok Sorowako, 2022
[3] Complicity in Destruction IV – How mining companies and international investors drive indigenous rights violations and threaten the future of the Amazon: https://complicityindestruction.org/vale
Forest-Smart Mining: Identifying Factors Associated with the Impacts of Large-Scale Mining on Forests: https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/32025