Berita

Menghancurkan Kehidupan dan Merampas Lahan:

Farmers in Pelayang Tebat – Lubuk Mandarsah hold a banner reading APP/Sinarmas: Stop Criminalizing Farmers (Photo: RAN/ WALHI Jambi/ Mushaful Imam)
Photo: RAN/ WALHI Jambi/ Mushaful Imam

Rekam Jejak Pelanggaran HAM Perusahaan Raksasa Sinar Mas Group dan Perlawanan Masyarakat di Garis Depan

Oleh Fitri Arianti, RAN

Jumat sore akhir Februari 2015, seorang petani muda bernama Indra Pelani tengah dibonceng temannya di tepi desa di provinsi Jambi, Sumatra, Indonesia. Indra bersama seorang temannya sedang menuju ke festival panen padi yang mereka nanti-nantikan, tapi mereka tidak pernah sampai disana.

Keduanya besar di dua desa yang saling bersebelahan, desa dimana masyarakatnya telah lama tinggal, bekerja, dan bertani di wilayah tersebut sejak zaman dahulu. Namun seiring waktu, masyarakat menjadi saksi bagaimana tanah dan hutan mereka diserahkan kepada perusahaan pulp dan kertas. Perusahaan-perusahaan agribisnis raksasa ini menebangi hutan alam dan membangun hutan tanaman untuk pulp dan kertas yang dijaga ketat. Selama proses tersebut berlangsung, kebun dan sawah masyarakat yang menjadi sumber mata pencaharian tradisional masyarakat dihancurkan, dikendalikan dan dijaga ketat oleh aparat militer.

Pada Jumat sore itu, Indra Pelani dan temannya mencoba melewati pos pemeriksaan yang dijaga satpam melalui jalanyang memotong Hutan Tanaman Industri perusahaan Asia Pulp and Paper (APP)—salah satu perusahaan kertas terbesar di dunia yang dikelola oleh perusahaan konglomerat raksasa Sinar Mas Group (SMG).

Indra yang berusia dua puluh tahun merupakan seorang aktivis serikat petani dan lingkungan yang cukup terkenal karena upayanya mengorganisir masyarakat untuk merebut kembali tanah mereka, sehingga penjaga di pos pemeriksaan langsung mengenali Indra. Para penjaga saat itu langsung menarik Indra dari boncengan sedangkan temanIndra langsung pergi untuk mencari bantuan. Tragisnya, bantuan datang terlambat, sehari kemudian mayat Indra ditemukan dibuang di rawa, penuh luka pukulan, tusukan, dengan tangan dan kaki terikat.

Pembunuhan Indra Pelani yang brutal ini menimbulkan kegemparan di dunia internasional kian memicu perlawanan yang terus berlanjut hingga hari ini. Namun sayangnya kasus ini hanya salah satu dari sekian daftar panjang ketidakadilan mengerikan yang dihadapi masyarakat yang berada di garis depan konflik pertanian dan perkebunan. Perusahaan pelanggar HAM ini  juga mendorong deforestasi besar-besaran di Indonesia, didukung oleh kontrak bisnis perusahaan merek dunia dan perbankan internasional yang mengalirkan uang untuk terus mendanai perusahaan ini.

Sinar Mas Group – Sebuah Jaring Pelanggaran HAM

Petani di Pelayang Tebat, Lubuk Mandarsah memegang spanduk “APP/Sinarmas Hentikan Kriminalisasi Terhadap Petani” (Photo: RAN/Walhi Jambi/Mushaful Imam)

Sinar Mas Group (SMG) mengelola Asia Pulp and Paper dan beberapa anak perusahaan lainnya. Menurut sejumlah laporan media dan lembaga masyarakat sipil lokal dan internasional, SMG memiliki salah satu catatan pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan terburuk, termasuk perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan.1 SMG menolak untuk mengikuti norma-norma hak asasi manusia internasional, gagal menjamin agar masyarakat diberi hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas pembangunan di tanah mereka, dan ketika kesepakatan antara SMG dan masyarakat telah dicapai, SMG malah gagal menjunjung tinggi kesepakatan tersebut. Menunjukkan bahwa SMG tidak serius dalam menangani keluhan masyarakat dan menolak memberikan penyelesaian kepada ratusan warga masyarakat yang terkena dampak operasional mereka.

Namun SMG masih terus memasok minyak sawit, pulp dan kertas ke perusahaan merek-merek dunia, bahkan bank internasional terus mengucurkan lebih banyak pinjaman kepada SMG. Merek-merek dunia seperti Mars, Mondelēz, Procter & Gamble, Nestlé, Unilever, Colgate-Palmolive, PepsiCo, dan Kao, semuanya menggunakan minyak sawit milik SMG untuk memproduksi makanan ringan, mie instan, dan barang konsumsi rumah tangga lainnya yang dijajakan di rak-rak toko kita. Perusahaan merek Jepang Nissin juga kemungkinan terimplikasi karena mereka membeli dari Fuji Oils yang kemudian membeli dari SMG. Nestlé bersama banyak perusahaan lain juga gagal mengungkap pemasok kertas mereka dan masih membeli pulp dan kertas melalui APP. SMG juga merupakan penerima pinjaman bank terbesar, dengan nilai kredit mencapai USD 20 miliar dalam lima tahun terakhir (2015-20Q1). Bahkan beberapa bank pemberi pinjaman terbesar adalah bank-bank Indonesia, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI), bersama dengan dua bank raksasa Jepang Mizuho Financial Group dan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG), serta bank Malaysia CIMB dan bank Cina ICBC.

Padahal perusahaan merek-merek dan bank ini memiliki kebijakan publik dan komitmen untuk menegakkan HAM, namun tetap mengabaikan pelanggaran HAM yang meluas oleh SMG. Perusahaan merek dan bank tersebut malah membanggakan “inisiatif” positif terbaru mereka sambil terus mendukung penolakan SMG untuk menghormati hak adat dan hak masyarakat. Hal ini harus dihentikan. Bank dan perusahaan merek dunia harus segera menghentikan semua kesepakatan bisnis baru dengan Sinar Mas Group (SMG) sampai kelompok usaha ini bisa membuktikan telah menyelesaikan konflik sosial dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh mereka dan para pemasoknya. SMG juga harus membuktikan bahwa mereka benar-benar melaksanakan komitmen mereka atas ‘Nol Deforestasi, Nol Ekspansi di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi Masyarakat serta Pekerja’, hingga memenuhi tuntutan masyarakat yang terkena dampak.

Menurut laporan Environmental Paper Network (EPN) tahun 2019, setidaknya dari lima provinsi di Indonesia, terdapat 107 desa atau kelompok masyarakat yang terlibat dalam konflik dengan perusahaan terkait APP atau pemasoknya. Bahkan 544 desa telah teridentifikasi sebagai lokasi dengan potensi konflik, dengan area seluas lebih dari 2,5 juta hektar. Berikut ini adalah sebagian dari kasus konflik masyarakat yang gagal diselesaikan SMG dengan kisah-kisah pelanggaran HAM:

Kekerasan dan Intimidasi terhadap Masyarakat Kelompok Tani Sekato Jaya, Desa Lubuk Mandarsah di Jambi, Indonesia

Ibu Minarti adalah petani yang menanam dan menjual pisang, singkong dan cabai untuk menghidupkan keluarganya. “Kami memang hidup di sini sangat memerlukan lahan karena demi kehidupan masa depan anak-anak kami. Kami ingin hidup tenang, damai, tenteram di sini. Dan saya minta tolong kepada PT. WKS mengertilah pada masyarakat yang susah. Tolong kembalikan lahan adat kami di Desa Lubuk Mandarsah ini.” (Photo: RAN/ Walhi Jambi/ Mushaful Imam)

Desa Lubuk Mandarsah, yang terletak di provinsi Jambi di pulau Sumatera, Indonesia, merupakan tempat tinggal lebih dari 6.000 keluarga. Mayoritas penduduknya adalah suku Melayu dan masyarakat adat Suku Anak Dalam yang sudah turun-temurun mendiami kawasan tersebut. Sebagian besar masyarakat hidup dan bekerja menanam padi dan sayur-sayuran dan sangat bergantung pada tanah. Akses ke lahan milik masyarakat semakin lama semakin terbatas, karena sebagian besar lahan telah ditetapkan sebagai bagian dari kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh dan sebagiandiberikan kepada perusahaan konsesi perkebunan industri PT. Wira Karya Sakti (PT. WKS) yang dimiliki oleh Asia Pulp & Paper (APP).

Konflik antara PT. WKS dan masyarakat bermula di tahun 2007 di dusun Pelayang Tebat. Setelah membangun akses jalan menuju konsesinya di kawasan tersebut, perusahaan mulai membuka lahan di kedua sisi jalan, termasuk lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat.2 Berdasarkan pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat melalui Serikat Tani Sekato Jaya, dan LSM lingkungan WALHI Jambi pada tahun 2013, total luas lahan kelola masyarakat yang diambil alih oleh perusahaan adalah 1.500 hektar–lebih luas dari 2.800 lapangan sepak bola.3 Konflik meningkat menjadi bentrokan antara perusahaan dan masyarakat pada tanggal 28 Desember 2007, ketika warga diduga mengambil alih mesin-mesin berat milik WKS yang tengah membersihkan lahan pertanian masyarakat.4 Bentrokan tersebut menyebabkan 9 petani ditangkap dan dipenjara selama 15 bulan.

LSM lingkungan setempat, WALHI Jambi, menuduh bahwa selama operasinya, PT. WKS terus mengintimidasi dan menyerang masyarakat, dengan beberapa catatan berikut:

  • Tanggal 6 Maret 2013, seorang petani bernama Kariono Setio ditangkap oleh Polres, setelah PT. WKS menuduh Setio membuka sebidang tanah di kawasan ‘konservasi’ perusahaan, yang didirikan di atas lahan pertanian milik adat tanpa Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal tanpa Paksaan (PADIATAPA) masyarakat. Kariono terpaksa berhenti menggarap lahan pertaniannya untuk menghindari hukuman.5
  • Tanggal 27 Februari 2015, Indra Pelani dipukul, diculik dan dibunuh oleh tim keamanan Unit Reaksi Cepat (URC) perusahaan PT. WKS.6

Ahmad Susanto adalah seorang petani di Lubuk Mandarsah. Tanaman Ahmad rusak ketika PT. WKS menggunakan drone untuk menyemprot herbisida pada bulan Maret 2020. Sekitar 2 hektar lahan rusak, termasuk milik Pak Ahmad. Cabai, semangka dan tanaman lain milik Ahmad semua busuk. 97 pohon kelapa sawit milik masyarakat juga rusak. PT. WKS menentang skala kerusakan akibat dronenya. (Photo: RAN/ Walhi Jambi/ Mushaful Imam)

  • Tanggal 4 Maret 2020 PT. WKS menggunakan pesawat tanpa awak menyebarkan herbisida beracun untuk memusnahkan tanaman sayuran, cabai, jengkol, dan kelapa sawit yang baru saja ditanam masyarakat. Tindakan perusahaan ini menjadi lebih mudah dilakukan saat pemerintah Indonesia mulai menerapkan kebijakan pembatasan sosial skala besar guna menanggulangi wabah virus corona. Halim, salah satu warga, melaporkan sekitar dua hektar kebun masyarakat rusak dan masyarakat mengalami kegagalan panen.
  • Di bulan Maret 2020, PT. WKS terus mengintimidasi masyarakat dengan melaporkan seorang warga ke polisikarena membuka lahan yang disengketakan dan diyakini sebagai bagian dari tanah adat masyarakat.7 Tanggal 28 April 2020, aparat militer sengaja melepaskan dua tembakan ke udara ketika Pak Agus, seorang warga, sedang merawat salah satu kebun masyarakat.

Sejak konflik dimulai, masyarakat mengorganisir diri untuk melakukan perlawanan dan berusaha menyelesaikan masalah dengan perusahaan melalui berbagai cara, antara lain melakukan demonstrasi di depan kantor pemerintah dan perusahaan, memblokir kegiatan lapangan perusahaan, dan mencoba berunding dengan perusahaan.

Terkait insiden-insiden terbaru, APP/SMG menyatakan bahwa “masalah telah diselesaikan melalui mediasi” dan mengklaim bahwa perwakilan masyarakat mengakui area lahan masyarakat yang rusak akibat pesawat tanpa awaksebenarnya lebih kecil. LSM-LSM setempat membantah pernyataan tersebut, menyatakan bahwa tidak ada mediasi yang berarti yang terjadi dan konflik berkepanjangan antara masyarakat Lubuk Mandarsah dan PT. WKS tetap ada.

Kriminalisasi Masyarakat Adat Sakai di Riau, Indonesia

Catatan pelanggaran HAM Sinar Mas Group tidak terbatas hanya di Desa Lubuk Mandarsah. Menurut sumber berita lokal, SMG juga melanggar hak masyarakat adat Sakai di Bengkalis, Provinsi Riau ketika seorang petani setempat mengalami kriminalisasi karena menebang pohon di lahan milik masyarakat yang diklaim oleh perusahaan milik APP/Sinar Mas PT. Arara Abadi (PT. AA).

Konflik di atas dimulai pada tahun 2001, ketika PT. AA membuka 327 ha lahan yang diklaim sebagai milik masyarakat dan dimiliki secara adat oleh masyarakat adat Sakai Batin Beringin dan Penaso, menghancurkan sumber makanan yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Pak Bongku bersama Koalisi untuk Masyarakat Adat untuk Hutan dan Tanah. (Photo: Jikalahari)

Bongku Bin Jelodan, umur 58 tahun, warga suku Sakai Batin Beringin, adalah salah seorang warga yang mengalami kriminalisasi karena konflik tersebut. Bongku seorang petani yang menanam ubi kayu dan ubi jalar lokal Ubi Menggalo (Manihot glaziovii), yang dapat diolah menjadi Menggalo Mersik – salah satu makanan tradisional masyarakat Sakai. Seperti banyak masyarakat adat di Indonesia, masyarakat Sakai adalah petani nomaden yang bergantung pada hutan dan hasil alamnya.

Kriminalisasi dimulai saat Bongku menggarap lahan baru untuk menanam ubi jalar. Bongku membuka lahan seluas 200 m2, menebang sekitar 20 pohon akasia di bulan November 2019.8 Lahan yang dibuka tersebut merupakan bagian dari tanah ulayat Suku Sakai, meskipun saat ini secara hukum ditetapkan sebagai bagian dari konsesi hutan tanaman industri APP/Sinar Milik Mas PT. AA.

Sidang pertama Bongku berlangsung di bulan Februari 2020, dan pada tanggal 18 Mei 2020, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman satu tahun penjara kepada Bongku dan denda Rp. 200 juta (lebih dari $ 14.000 USD) karena telah menebang pohon akasia di dalam konsesi PT. AA. Majelis Hakim mendapati Bongku bersalah karena melanggar Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Tahun 2013, sebuah undang-undang yang dimaksudkan untuk melarang perusakan hutan terorganisir namun sering digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat.9

Sejak tahun 2015, masyarakat Sakai telah meminta pengakuan atas hak ulayat atas tanah mereka, termasuk tanah yang dikelola oleh Bongku, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun hingga kini Kementerian belum menerbitkan pengakuan.10 Dalam pernyataannya, APP mengklaim “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan terus memfasilitasi penyelesaian konflik ke depan” dan bahwa “PT. AA tetap berkomitmen untuk mengikuti proses tersebut”.

Infografis Kriminalisasi Masyarakat Adat Suku Sakai LBH Pekanbaru

Bongku dibebaskan setelah dipenjara selama tujuh bulan karena kekhawatiran akan COVID-19. Kelompok masyarakat sipil setempat memperingatkan bahwa kasus ini membuat sengketa tanah tetap terbuka dan kasus kriminalisasi seperti Bongku kemungkinan akan terus terjadi sampai sengketa tanah ini diselesaikan dan tanah adat Sakai diakui.

Pelanggaran Hak Pekerja dan HAM di Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah, Indonesia

Rekam jejak pelanggaran HAM SMG terdokumentasi dengan baik dan telah dilakukan tidak hanya oleh divisi pulp dan kertas SMG tetapi juga oleh salah satu anak perusahaan kelapa sawit SMG; Golden Agri Resources (GAR), yang telah terdokumentasikan oleh masyarakat sipil dan serikat pekerja melanggar HAM dan ketenagakerjaan.

Dalam sebuah laporan di tahun 2018, Sawit Watch dan Asia Monitor Resource Center mewawancarai 49 pekerja perkebunan kelapa sawit tentang pelanggaran yang mereka alami saat bekerja di dua perkebunan kelapa sawit milik GAR di Kalimantan Tengah: PT. Tapian Nadenggan dan PT. Mitra Karya Agroindo.

Pelanggaran tersebut meliputi sistem kerja yang tidak adil, masalah kesehatan dan keselamatan kerja, upah rendah, kondisi kehidupan yang buruk, diskriminasi gender, dan penyembunyian pekerja agar tim audit Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) –– badan sertifikasi terkemuka kelapa sawit ‘berkelanjutan’ –– tidak dapat mewawancarai mereka. Serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil juga telah berulang kali menyuarakan keprihatinan tentang pelanggaran hak-hak pekerja, termasuk kontrak kerja sewenang-wenang, lembur yang tidak dibayar, pemecatan tanpa alasan, dan penindasan serikat pekerja di perkebunan kelapa sawit milik PT. Sawit Mas Sejahtera di Sumatra Selatan, yang juga dimiliki oleh GAR.

Forest Peoples Programme (FPP) dan Elk Hills Research baru-baru ini juga telah mengajukan pengaduan ke RSPO tentang dugaan pelanggaran peraturan perizinan dan indikasi korupsi di delapan konsesi GAR di Kalimantan Tengah, termasuk ditemukannya pelanggaran hak pekerja di dua konsesi yang disebutkan di atas. FPP dan LSM-LSM setempat sebelumnya mengajukan sejumlah pengaduan terhadap GAR atas pelanggaran hak atas PADIATAPA dalam proses pembebasan tanah masyarakat, termasuk di Liberia.

Ibu Nurhayana adalah Ibu dari Almarhum Indra Pelani yang dibunuh secara brutal oleh petugas keamanan PT. WKS pada tahun 2015. Sekarang ia terus berjuang untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, sementara PT. WKS tidak lagi  memberikannya bantuan. “Tolong secepatnya lahan masyarakat dikembalikan. Begitu juga saya harap ke depannya, saya minta keadilan untuk saya dan anak saya Nila Putri. Karena saya ini merasa keadaan saya seperti ini sejak mulai mendiang tidak ada di dunia ini, karena dia tulang punggung saya. Tolong itu saja yang saya minta.” (Photo: RAN/ Walhi Jambi/ Mushaful Imam)

Mengambil Pasokan Minyak Sawit dari Tanah Desa Pante Cermin di Aceh, Indonesia

Anggota masyarakat Desa Pante Cermin yang berjuang untuk lahannya. 

Di bulan September 2020, RAN menemukan bukti bahwa divisi minyak sawit Sinar Mas Group, Golden Agri Resources (GAR), mengambil pasokan minyak sawit dari pabrik yang dipasok oleh PT. Dua Perkasa Lestari (DPL) –– perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengelola perkebunan di atas tanah adat Desa Pante Cermin, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh, Pulau Sumatra, Indonesia.

Konflik antara masyarakat Desa Pante Cermin dengan PT. DPL bermula di tahun 2006. Tergusur akibat konflik antara gerakan separatis Aceh (GAM) dan militer Indonesia, masyarakat telah kembali ke desa mereka dan mendapati PT. DPL beroperasi di tanah mereka. Meskipun masyarakat memiliki dokumen kepemilikan tanah yang legal (Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah atau SPORADIK), PT. DPL terus membersihkan tanaman pangan masyarakat untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Selama bertahun-tahun, intimidasi terus meningkat. Pada tahun 2014, perusahaan telah menggunakan aparat Brimob untuk menghancurkan rumah dan tanaman pangan masyarakat, memata-matai masyarakat, dan bahkan melepaskan tembakan peringatan ke masyarakat, yang nyaris mengenai kepala salah satu warga.11

Sebuah analisis hukum yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh menemukan bahwa banyak penyimpangan dalam izin perkebunan kelapa sawit PT. DPL. Penerbitan izin tersebut tidak melibatkan masyarakat sekitar meskipun berlokasi di lahan pertanian yang dikelola masyarakat setempat sejak tahun 1992. Terdapat ketidaksesuaian antara izin lokasi, izin usaha perkebunan, dan hak guna usaha terkait lokasi perkebunan. Perkebunan juga dikembangkan di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter.

Sejak hubungan antara GAR dan PT. DPL tersebar ke masyarakat, GAR mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan pengambilan pasokan dari PT. DPL. Namun, GAR gagal bekerja sama secara langsung dengan PT. DPL untuk memastikan adanya penyelesaian bagi masyarakat Pante Cermin. Sengketa tanah yang telah berlangsung selama beberapa dekade ini menunjukkan kelemahan dalam kemampuan GAR/Sinar Mas Group untuk menerapkan kebijakan hak asasi manusianya, membangun sistem uji tuntas hak asasi manusia yang efektif dan mendeteksi ketidakpatuhan dalam rantai pasokannya.

Pak Musari adalah seorang petani dari Lubuk Mandarsah. Pak Musari memanen aren di lahan yang diklaim oleh PT. WKS. (Photo: RAN/ Walhi Jambi/ Mushaful Imam)

Perlunya Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal tanpa Paksaan

Kasus-kasus di atas memperjelas bahwa pelanggaran HAM oleh SMG tidak hanya terjadi di satu sektor atau di segelintir perkebunan, namun lintas komoditas, wilayah, dan di seluruh rantai pasokannya termasuk pemasok pihak ketiga. Divisi agribisnis anak perusahaan SMG, APP dan GAR, telah gagal memenuhi komitmen mereka sendiri, termasuk komitmen untuk menghormati hak asasi manusia, hak masyarakat setempat dan proses ‘Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal tanpa Paksaan.’

Apa yang harus dilakukan oleh perusahaan merek global dan para bank pendana?

Masyarakat terdampak menuntut Grup Sinar Mas:

  • Segera menyelesaikan semua sengketa lahan yang terkait dengan operasional Sinar Mas Group, termasuk konflik dengan masyarakat di Lubuk Mandarsah di Jambi, Masyarakat Adat Sakai di Riau, dan masyarakat Desa Pante Cermin di Aceh.
  • Mengakhiri semua bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat terdampak dan para pembela hak dan lingkungan.
  • Menghormati dan mendukung pengakuan hak atas tanah adat dengan mengembalikan tanah dalam konsesi perusahaan kepada masyarakat.
  • Menjamin kondisi kerja dan hidup yang adil dan layak bagi pekerja di perkebunan SMG.

Dukung Masyarakat Terdampak

Tanda tangani petisi ini untuk terus mendorong perhatian untuk pembela hak mayarakat adat yang dikriminalisasi seperti Pak Bongku: #BebaskanBongku Stop Kriminalisasi Masyarakat Adat!

Artikel ini pertama kali diterbitkan di sini